Bermodal sebuah gelang keroncong, Susi memulai bisnisnya sebagai penjual ikan. Ternyata, dalam 25 tahun, ia berhasil menjadi pengusaha pesawat carteran. Padahal, SMA pun ia tak lulus!
“Mimpi bukan sekadar bunga tidur.” Inilah kredo yang tak sengaja terlontar dari Susi Pudjiastuti (45), President Director Susi Air – Passenger and Cargo Aircraft Charter, yang sejak 2004 melayani rute-rute tak populer di berbagai pelosok terpencil Indonesia. Wanita yang dikenal sebagai Susi ‘Air’ ini menambahkan, sepotong mimpi adalah angan-angan, yang dengan doa, menjadi cita-cita yang menyihir rasa, memukau untuk dikejar dan dijangkau. Hasilnya, dari ‘memungut’ ikan di Pantai Pangandaran, kini ia memiliki 37 pesawat terbang yang harga sewanya 10.000 dollar AS per hari. Susi bercerita, pada pembelian pesawatnya yang ke-30, para petinggi industri pesawat di Amerika Serikat memperlakukannya bak seorang ratu.
ANAK KAMPUNG TERPESONA MONTOR MABUR
Mimpi Susi sejak sekitar 40 tahun silam adalah punya montor mabur (pesawat terbang), yang sesekali ia saksikan melintas terbang tinggi, jauh di atas petak kebun kelapa milik ayahnya. “Montor mabur, montor mabuuur…! Bagi duiiit…!” Begitulah Susi kecil selalu berteriak-teriak gembira, baik ketika ia sendirian atau saat main bersama teman-teman sebayanya, tiap kali melihat montor mabur melintas di udara pesisir Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat, kampung halamannya.
‘Mimpi’ anak petani kelapa itu juga kerap terbawa tidur, ke alam mimpi sebenarnya, di mana ia sering merasa terbang dengan pesawat miliknya sendiri ke mana ia suka. Bahkan, ia merasa kerap nyetir pesawat sendiri. Mimpi yang menurut ibunya, Hajjah Suwuh Lasminah, amat nyeleneh! “Lha, wong, anak desa, kok, mimpi punya montor mabur!” celetuk ibunya, sambil mesem ke arah Susi, awal Desember lalu, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Susi balas tersenyum seraya menyodorkan sekaleng minuman kepada sang ibu, lalu duduk sambil memijat-mijat punggung wanita berkerudung itu.
Susi menyimpan mimpinya itu hanya untuk dirinya. Tetapi, tak jarang angan-angan itu terkuak juga. Sering tanpa sadar ia bergumam, “Kapan, ya, aku punya kapal terbang, biar bisa keliling dunia…?” Gumam kerap ditertawakan teman sepermainan. Susi tak marah. Dalam gumaman itu seakan ia terus memupuk cita-citanya.
Di sekolah, saat pelajaran menggambar, sering tanpa sadar ia membentuk gambar pesawat. Lucunya, dalam pesawat itu, dia memenuhi*nya dengan gambar ikan-ikan dalam keranjang. Gurunya sering heran dan berucap, “Pesawat terbang mahal-mahal, kok, dimuati keranjang ikan? Bau amis, atuuuh…!” kenang Susi, menirukan kritik gurunya.
Entah apa ada hubungan alam bawah sadar antara gambar pesawat di angkasa kampungnya, dengan ikan-ikan tangkapan nelayan yang sehari-hari dilihatnya? Susi hanya mesem saja. Yang pasti, mimpi anak pantai yang tak masuk akal itu terwujud enam tahun lalu, ketika ia berhasil membeli pesawat pertamanya.
Kini, Susi memiliki 37 pesawat. Dan, besar kemungkinan jumlahnya terus bertambah. Tak kalah unik, pesawat-pesawat terbang itu ia beli dan wujudkan dengan tujuan: untuk dagang ikan. Tiap hari, armada miliknya terbang ke berbagai pelosok pesisir Indonesia, membeli berjenis ikan dan udang pilihan, dari tangan nelayan dengan harga bagus, membawanya ke berbagai pasar potensial di banyak negeri.
“Mimpi itu tidak dosa, lho!” ucap Susi. Sementara sang ibu menimpali dengan komentar lebih sederhana lagi, “Anakku wedhok (perempuan) satu ini memang gila….”
DROP OUT BUKAN KARENA MALAS
Susi anak sulung dari tiga bersaudara, kelahiran Pangandaran, 15 Ja*nuari 1965. “Ayah-Ibu asal Jawa Tengah yang sudah lima gene*rasi lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut cerita, kakek buyut saya saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Te*ngah untuk diperdagangkan di Jawa Barat ini. Saya tak tahu bagaimana ceritanya sampai beliau menetap di Pangandaran. Yang pasti, Haji Ireng, kakek buyut saya, dikenal sebagai tuan tanah,” kisah Susi.
Sebagai keturunan Haji Ireng, ayah Susi, Haji Karlan, termasuk tuan tanah di kampungnya. Tanah ayahnya banyak, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil. Di tengah keluarga berkecukupan itu Susi tumbuh dan besar.
Pangandaran sekarang memang sudah berbeda dengan saat masa kecilnya. Pangandaran kini menjelma menjadi kawasan wisata yang amat ramai. Sebagai objek wisata primadona Jawa Barat, keramaian turis yang datang tak cuma di hari Sabtu-Minggu ataupun saat-saat ada upacara labuh laut, tetapi juga di hari-hari biasa. Kampung di pesisir pantai itu pun kini sudah menjadi kota, bahkan sedang digadang-gadang untuk menjadi ibu kota Ciamis Selatan.
Dulu, meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, Pantai Pangandaran masih saja sepi pengunjung. Di hari Sabtu-Minggu atau hari libur pun amat jarang ada wisatawan yang datang.
Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, Susi kecil tetap saja Susi anak kampung yang sepi. Ajang gaul-nya pun sebatas pada anak kampung, anak desa. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai hingga pukul sembilan pagi. Sekolah dasar negeri memang ada, beberapa, dengan bangunan setengah tembok dan selebihnya berdinding bilik bambu berlantai tanah. Susi bersekolah di SD Negeri 8 Pangandaran antara tahun 1972-1977, dan lalu ke SMP Negeri 1 Pangandaran pada 1978-1980.
Jangan ngomong soal dokumentasi foto masa kecil Susi. “Boro-boro studio foto, pemotret keliling berbekal tustel polaroid pun belum ada waktu saya kecil. Bahkan, sampai remaja pun, namanya urusan foto, terasa sebagai sesuatu yang mahal bagi saya. Pernah, beberapa kali saya minta dijepret oleh tukang foto keliling saat main-main bersama teman di pantai. Tetapi, entah ke mana lembar foto elek itu sekarang,” katanya, sambil terpingkal-pingkal.
Sebenarnya, pernah juga Susi melihat ‘dunia’ di luar kampungnya saat-saat piknik dengan sekolah, atau diajak oleh orang tuanya melihat keramaian Kota Ciamis atau Tasikmalaya. “Tetapi, saya benar-benar baru ‘melihat’ dunia luar setelah lulus SMP,” ungkap Susi. Tak jelas, apakah saat itu di Pangandaran sudah ada SMA atau sekolah lanjutan setara, yang pasti orang tuanya mengirim Susi bersekolah di SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Susi tak menjelaskan masa-masa remajanya di SMA di Yogyakarta. Dia tak pula menjelaskan, di mana dan di tempat siapa ia kos saat di Kota Gudeg itu. Dia hanya membuka sedikit rahasia, “Saya teman sekelas Iwan Qodar, suaminya Uni Lubis (wakil pemimpin redaksi ANTV-Red),” ungkap Susi
Ya, saat di SMA, Susi memang tidak tuntas belajar. Ia drop out di kelas dua. Apa dan kenapa? Lagi-lagi Susi enggan untuk menjelaskan. Tapi, pastinya ia putus sekolah bukan karena malas belajar. “Saya amat suka belajar, dan membaca buku-buku teks berbahasa Inggris,” ung*kap wanita berambut ikal yang fasih berbahasa Inggris ini.
Tetapi, ya, itu tadi. Meski mempunyai otak encer dan dana cukup, Susi terbentur tembok juga. “Terbentur tembok dalam arti sebenarnya,” kenang Susi. Ia pun berkisah tentang bagaimana sua*tu kali ia tergelincir di tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika kepalanya terbentur tembok din*ding sekolahnya.
Susi sampai harus terbaring di tempat kosnya beberapa hari. Sakit berkepanjangan membuat orang tuanya memintanya balik ke Pangandaran, dan dia kemudian memutuskan untuk tak balik lagi ke sekolah. Alasannya sederhana, “Saya ini orang yang tidak mau diatur.” Bahkan, ibu dan bapaknya sempat melongo ketika tahu Susi tak mau melanjutkan sekolah. “Tetapi, mau bilang apa lagi, Susi maunya begitu…,” ungkap sang ibu.
Orang tua boleh kesel saat itu. Tetapi, dipikir-pikir lagi, bisa jadi itu memang jalan hidup yang harus ia jalani. “Rasanya begitulah kehendak Gusti Allah untuk saya. Kalau saja saya terus sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidup saya akan berbeda,” katanya, tertawa, sembari mengusap-usap bagian depan kepalanya, yang bisa jadi merupakan titik benturan semasa SMA. “Apa karena terbentur itu, ya, ’pikiran’ saya lantas jadi aneh…?” lanjutnya, lagi-lagi sembari tertawa.
Sumber : Kaskus dan Femina
“Mimpi bukan sekadar bunga tidur.” Inilah kredo yang tak sengaja terlontar dari Susi Pudjiastuti (45), President Director Susi Air – Passenger and Cargo Aircraft Charter, yang sejak 2004 melayani rute-rute tak populer di berbagai pelosok terpencil Indonesia. Wanita yang dikenal sebagai Susi ‘Air’ ini menambahkan, sepotong mimpi adalah angan-angan, yang dengan doa, menjadi cita-cita yang menyihir rasa, memukau untuk dikejar dan dijangkau. Hasilnya, dari ‘memungut’ ikan di Pantai Pangandaran, kini ia memiliki 37 pesawat terbang yang harga sewanya 10.000 dollar AS per hari. Susi bercerita, pada pembelian pesawatnya yang ke-30, para petinggi industri pesawat di Amerika Serikat memperlakukannya bak seorang ratu.
ANAK KAMPUNG TERPESONA MONTOR MABUR
Mimpi Susi sejak sekitar 40 tahun silam adalah punya montor mabur (pesawat terbang), yang sesekali ia saksikan melintas terbang tinggi, jauh di atas petak kebun kelapa milik ayahnya. “Montor mabur, montor mabuuur…! Bagi duiiit…!” Begitulah Susi kecil selalu berteriak-teriak gembira, baik ketika ia sendirian atau saat main bersama teman-teman sebayanya, tiap kali melihat montor mabur melintas di udara pesisir Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat, kampung halamannya.
‘Mimpi’ anak petani kelapa itu juga kerap terbawa tidur, ke alam mimpi sebenarnya, di mana ia sering merasa terbang dengan pesawat miliknya sendiri ke mana ia suka. Bahkan, ia merasa kerap nyetir pesawat sendiri. Mimpi yang menurut ibunya, Hajjah Suwuh Lasminah, amat nyeleneh! “Lha, wong, anak desa, kok, mimpi punya montor mabur!” celetuk ibunya, sambil mesem ke arah Susi, awal Desember lalu, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Susi balas tersenyum seraya menyodorkan sekaleng minuman kepada sang ibu, lalu duduk sambil memijat-mijat punggung wanita berkerudung itu.
Susi menyimpan mimpinya itu hanya untuk dirinya. Tetapi, tak jarang angan-angan itu terkuak juga. Sering tanpa sadar ia bergumam, “Kapan, ya, aku punya kapal terbang, biar bisa keliling dunia…?” Gumam kerap ditertawakan teman sepermainan. Susi tak marah. Dalam gumaman itu seakan ia terus memupuk cita-citanya.
Di sekolah, saat pelajaran menggambar, sering tanpa sadar ia membentuk gambar pesawat. Lucunya, dalam pesawat itu, dia memenuhi*nya dengan gambar ikan-ikan dalam keranjang. Gurunya sering heran dan berucap, “Pesawat terbang mahal-mahal, kok, dimuati keranjang ikan? Bau amis, atuuuh…!” kenang Susi, menirukan kritik gurunya.
Entah apa ada hubungan alam bawah sadar antara gambar pesawat di angkasa kampungnya, dengan ikan-ikan tangkapan nelayan yang sehari-hari dilihatnya? Susi hanya mesem saja. Yang pasti, mimpi anak pantai yang tak masuk akal itu terwujud enam tahun lalu, ketika ia berhasil membeli pesawat pertamanya.
Kini, Susi memiliki 37 pesawat. Dan, besar kemungkinan jumlahnya terus bertambah. Tak kalah unik, pesawat-pesawat terbang itu ia beli dan wujudkan dengan tujuan: untuk dagang ikan. Tiap hari, armada miliknya terbang ke berbagai pelosok pesisir Indonesia, membeli berjenis ikan dan udang pilihan, dari tangan nelayan dengan harga bagus, membawanya ke berbagai pasar potensial di banyak negeri.
“Mimpi itu tidak dosa, lho!” ucap Susi. Sementara sang ibu menimpali dengan komentar lebih sederhana lagi, “Anakku wedhok (perempuan) satu ini memang gila….”
DROP OUT BUKAN KARENA MALAS
Susi anak sulung dari tiga bersaudara, kelahiran Pangandaran, 15 Ja*nuari 1965. “Ayah-Ibu asal Jawa Tengah yang sudah lima gene*rasi lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut cerita, kakek buyut saya saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Te*ngah untuk diperdagangkan di Jawa Barat ini. Saya tak tahu bagaimana ceritanya sampai beliau menetap di Pangandaran. Yang pasti, Haji Ireng, kakek buyut saya, dikenal sebagai tuan tanah,” kisah Susi.
Sebagai keturunan Haji Ireng, ayah Susi, Haji Karlan, termasuk tuan tanah di kampungnya. Tanah ayahnya banyak, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil. Di tengah keluarga berkecukupan itu Susi tumbuh dan besar.
Pangandaran sekarang memang sudah berbeda dengan saat masa kecilnya. Pangandaran kini menjelma menjadi kawasan wisata yang amat ramai. Sebagai objek wisata primadona Jawa Barat, keramaian turis yang datang tak cuma di hari Sabtu-Minggu ataupun saat-saat ada upacara labuh laut, tetapi juga di hari-hari biasa. Kampung di pesisir pantai itu pun kini sudah menjadi kota, bahkan sedang digadang-gadang untuk menjadi ibu kota Ciamis Selatan.
Dulu, meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, Pantai Pangandaran masih saja sepi pengunjung. Di hari Sabtu-Minggu atau hari libur pun amat jarang ada wisatawan yang datang.
Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, Susi kecil tetap saja Susi anak kampung yang sepi. Ajang gaul-nya pun sebatas pada anak kampung, anak desa. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai hingga pukul sembilan pagi. Sekolah dasar negeri memang ada, beberapa, dengan bangunan setengah tembok dan selebihnya berdinding bilik bambu berlantai tanah. Susi bersekolah di SD Negeri 8 Pangandaran antara tahun 1972-1977, dan lalu ke SMP Negeri 1 Pangandaran pada 1978-1980.
Jangan ngomong soal dokumentasi foto masa kecil Susi. “Boro-boro studio foto, pemotret keliling berbekal tustel polaroid pun belum ada waktu saya kecil. Bahkan, sampai remaja pun, namanya urusan foto, terasa sebagai sesuatu yang mahal bagi saya. Pernah, beberapa kali saya minta dijepret oleh tukang foto keliling saat main-main bersama teman di pantai. Tetapi, entah ke mana lembar foto elek itu sekarang,” katanya, sambil terpingkal-pingkal.
Sebenarnya, pernah juga Susi melihat ‘dunia’ di luar kampungnya saat-saat piknik dengan sekolah, atau diajak oleh orang tuanya melihat keramaian Kota Ciamis atau Tasikmalaya. “Tetapi, saya benar-benar baru ‘melihat’ dunia luar setelah lulus SMP,” ungkap Susi. Tak jelas, apakah saat itu di Pangandaran sudah ada SMA atau sekolah lanjutan setara, yang pasti orang tuanya mengirim Susi bersekolah di SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Susi tak menjelaskan masa-masa remajanya di SMA di Yogyakarta. Dia tak pula menjelaskan, di mana dan di tempat siapa ia kos saat di Kota Gudeg itu. Dia hanya membuka sedikit rahasia, “Saya teman sekelas Iwan Qodar, suaminya Uni Lubis (wakil pemimpin redaksi ANTV-Red),” ungkap Susi
Ya, saat di SMA, Susi memang tidak tuntas belajar. Ia drop out di kelas dua. Apa dan kenapa? Lagi-lagi Susi enggan untuk menjelaskan. Tapi, pastinya ia putus sekolah bukan karena malas belajar. “Saya amat suka belajar, dan membaca buku-buku teks berbahasa Inggris,” ung*kap wanita berambut ikal yang fasih berbahasa Inggris ini.
Tetapi, ya, itu tadi. Meski mempunyai otak encer dan dana cukup, Susi terbentur tembok juga. “Terbentur tembok dalam arti sebenarnya,” kenang Susi. Ia pun berkisah tentang bagaimana sua*tu kali ia tergelincir di tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika kepalanya terbentur tembok din*ding sekolahnya.
Susi sampai harus terbaring di tempat kosnya beberapa hari. Sakit berkepanjangan membuat orang tuanya memintanya balik ke Pangandaran, dan dia kemudian memutuskan untuk tak balik lagi ke sekolah. Alasannya sederhana, “Saya ini orang yang tidak mau diatur.” Bahkan, ibu dan bapaknya sempat melongo ketika tahu Susi tak mau melanjutkan sekolah. “Tetapi, mau bilang apa lagi, Susi maunya begitu…,” ungkap sang ibu.
Orang tua boleh kesel saat itu. Tetapi, dipikir-pikir lagi, bisa jadi itu memang jalan hidup yang harus ia jalani. “Rasanya begitulah kehendak Gusti Allah untuk saya. Kalau saja saya terus sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidup saya akan berbeda,” katanya, tertawa, sembari mengusap-usap bagian depan kepalanya, yang bisa jadi merupakan titik benturan semasa SMA. “Apa karena terbentur itu, ya, ’pikiran’ saya lantas jadi aneh…?” lanjutnya, lagi-lagi sembari tertawa.
Sumber : Kaskus dan Femina
comment 0 komentar
more_vert