Ada sebuah cerita tentang seorang ibu muda. Dia adalah ibu dari dua orang anak, satu masih usia balita sementara yang satu menjelang lulus SD. Suami si ibu ini, karena tuntutan pekerjaannya, membuatnya bekerja tidak kenal waktu. Hampir selalu sang suami harus berangkat pagi-pagi sekali, dan pulang di malam hari, bahkan sesekali waktu sampai lewat tengah malam. Apa yang dialami ibu muda ini memang tidaklah mudah. Sementara dia sendiri berprofesi sebagai part-timer di sebuah perusahaan kosmetik, yang harus meluangkan waktu paling tidak enam jam sehari untuk bekerja melakukan konsultasi dan demo kecantikan. Yang menarik adalah bagaimana sang ibu ini berusaha mengelola kehidupan rumah tangganya, terutama dalam hal bagaimana dia melakukan fungsi kepemimpinan terhadap kedua pembantu rumah tangganya.
Pembagian tugas kedua pembantu ini saya pikir sudah cukup jelas. Salah satu pembantu bertugas seperti layaknya baby-sitter bagi kedua anaknya yang harus memenuhi kebutuhan si anak baik si kecil yang berumur empat tahun dan si besar di sekolah dasar. Sementara pembantu satunya lagi bertugas seperti fungsi housekeeping, mencuci, setrika, bersih-bersih rumah, memasak, dan sebagainya.
Ritual yang terjadi secara keseharian adalah, sejak bangun tidur di pagi hari, si ibu selalu saja memberikan order ini-itu kepada kedua pembantunya, terkadang dengan setengah berteriak. "Si kecil dimandiin dulu, Tiii…", teriaknya kepada Siti (bukan nama sebenarnya), sang pembantu satu. "Abis itu jangan lupa siapkan baju sekolah dan sarapan untuk si besar…", lanjut si ibu kemudian. Belum juga selesai pekerjaan pertama si ibu sambil bermake-up di depan kaca berteriak kembali kepada Siti :"Jangan lupa si kecil diminumin vitamin sesudah disuapin
makan nanti…" Sementara kepada pembantu dua juga tak kalah serunya. "Nem, kalo nyuci jangan lupa disendirikan dulu, pakaian si kecil jangan dicampur dan musti didahulukan di mesin cucinya…!", teriak si ibu sambil sarapan pagi kepada si Inem (juga bukan nama sebenarnya) pembantu dua. "Nanti jangan lupa belanjanya juga musti banyak sayurnya, yaa…, daging terus tiap hari juga nggak baik..", tambah si ibu. Belum lagi hal-hal detail lain yang selalu saja si ibu sampaikan berulang-ulang setiap hari. "Ini setrika sepreinya kurang rapi..!", "Kok maemnya si kecil terlalu banyak kuahnya..", atau pernah juga terdengar teriakan si ibu, "Siti, kamu sekali-sekali juga harus bisa ngajari mengenalkan huruf angka buat si kecil…"
Begitulah si ibu dalam upaya memimpin kedua pembantunya, setiap hari berisi perintah `lakukan ini' – `lakukan itu', `jangan begini', `harus begitu'. Dan itu berlangsung terus menerus setiap hari, bahkan perintah yang sama bisa terdengar berulang-ulang disampaikan setiap
harinya. Tidak heran bahwa kemudian ibu ini termasuk yang sering berganti-ganti pembantu. Pembantu terlama yang paling betah melayaninya hanya berkisar satu setengah tahun. Sementara rekor tersingkat pernah terjadi seorang pembantu hanya bertahan selama sebulan kemudian keluar tidak kuat menjalaninya.
Si ibu ini bisa jadi telah mencoba mendefinisikan secara jelas misinya, terutama dalam peran sebagai seorang ibu bagi anak-anak nya, dan istri bagi suaminya. Bisa jadi secara gamblang telah berupaya menuliskan misinya, hasil akhir dari tujuan peran yang diembannya. Secara imajiner, mungkin saya bisa mencoba untuk memperkirakan bahwa misinya adalah bisa memberikan sesuatu yang terbaik sebagai ibu bagi anaknya dan sebagai istri bagi suaminya. Hanya saja, memiliki misi yang terdefinisi secara jelas tidak lah cukup. Sebuah misi yang berusaha menggambarkan secara jelas `hasil akhir' dari setiap peran kita, haruslah kemudian di-ejawantah- kan pada `day to day activity', yang membuat kita harus memilih mana yang harus saya kerjakan dahulu, mana yang harus saya dahulukan, mana yang penting berdasarkan misi saya, bisa memilah mana yang sepertinya penting tapi sebenarnya tidaklah begitu penting, mana yang harus segera diselesaikan karena kondisi genting tapi sebenarnya tidaklah begitu penting.
`Day to day activity' ini pun kita harus selalu selaraskan dengan nilai-nilai dan prinsip yang sesuai dengan paradigma kita sesuai dengan tingkat kepekaan kita memahami hukum alam. Bisa kita pilah mana-mana yang bisa kita kelompokkan sebagai lingkaran pengaruh kita –something that we can do about it- atau bukan. Bukan sekedar melakukan `day to day activity' yang bersifat ikut-ikutan, `karena kebanyakan orang begitu', didasari oleh rasa gengsi, ego yang berlebihan, sikap yang berusaha untuk mengedepankan status, dan sebagainya. Secara logika, diujung pengertiannya, dalam mengejawantahkan misi kita, haruslah diwujudkan kepada `day to day activity' yang berupaya untuk memprioritaskan yang penting harus dilakukan, dan semua itu harus dilakukan sesuai nilai-nilai yang diyakini, yang selalu dikonfirmasikan dengan prinsip sesuai pemahaman kita akan hukum alam.
Bisa kita coba kupas disini, pertama adalah si ibu ini mungkin belum berhasil dalam tahapan memilah mana-mana yang sebaiknya diprioritaskan sebagai hal yang penting. Ketika si ibu selalu meneriakkan berulang-ulang kata-kata pada porsi yang sama seperti : "Jangan lupa meminumkan vitamin pada si kecil", "Setrikaannya kurang rapi", "Si kecil jangan lama-lama mandiinnya", "Si besar makannya suruh di meja makan, jangan sambil jalan-jalan. ."Nge-pel lantainya jangan terlalu basah…". Seolah-olah memberikan pengertian bahwa si ibu ini menganggap semua hal di atas adalah sama pentingnya. Lebih buruknya lagi, bagi si pembantu, sang penerima delegasi, akan melihat semua hal tersebut sama pentingnya. Sehingga ketika seolah-olah semua hal menjadi penting, bisa jadi tidak akan ada lagi prioritas. Dan bagi si anak, yang setiap hari juga mendengar teriakan-teriakan si ibu pada pembantunya, akan melihat bahwa hal itu bisa mengkaburkan arti mana prioritas bagi yang penting, juga akan melihat apa yang dilakukan ibunya adalah sesuatu yang wajar. Si anak pun akan belajar bila menginginkan sesuatu tinggal teriak pada sang pembantu.
Yang kedua, sebenarnya kalau direnungi ada hal lagi yang penting yang harus menjadi prioritas atas apa yang dilakukan si ibu pada kedua pembantunya, yaitu upaya untuk memberdayakan kedua pembantu tersebut. Bisa jadi memang teriakan-teriakan yang dilakukan si ibu kepada kedua pembantunya adalah dalam upayanya untuk memberdayakan mereka. Inilah mengapa dalam kita mendahulukan yang prioritas harus juga selalu menyelaraskan dengan nilai-nilai yang kemudian selalu di- "challenge" dengan prinsip atas kepekaan kita terhadap hukum alam. Pengertian prinsip pada kasus ini, karena pada dasarnya pembantu rumah tangga adalah juga manusia, bukan robot. Manusia yang juga memiliki perasaan, emosi, kebutuhan atas pengakuan, mampu menjalani proses belajar dan pemberdayaan, membutuhkan rasa percaya diri dan sebagainya.
Sedang yang ketiga adalah mungkin seperti yang dikhawatirkan Stephen Covey, bahwa ekspektasi si ibu lebih kepada social mirror, sehingga pengertian tahapan prioritas menjadi `terganggu' karena hal ini. Si ibu mungkin melakukan itu semua dalam upaya akan status-nya tetap sebagai majikan, dan kata perintah adalah yang dilakukan oleh seorang majikan. Sehingga selalu beranggapan pembantu akan selalu dalam segala hal tidak lebih pintar dari majikannya. Tapi bagaimana pun juga situasi si ibu ini tidaklah mudah, terutama untuk melihat bahwa yang penting memanglah yang penting…
Sumber : Mengelola Prioritas Pada yang Penting oleh Pitoyo Amrih
Kiriman dari member :
Sulistyono
Jakarta
from acesia.tk
Pembagian tugas kedua pembantu ini saya pikir sudah cukup jelas. Salah satu pembantu bertugas seperti layaknya baby-sitter bagi kedua anaknya yang harus memenuhi kebutuhan si anak baik si kecil yang berumur empat tahun dan si besar di sekolah dasar. Sementara pembantu satunya lagi bertugas seperti fungsi housekeeping, mencuci, setrika, bersih-bersih rumah, memasak, dan sebagainya.
Ritual yang terjadi secara keseharian adalah, sejak bangun tidur di pagi hari, si ibu selalu saja memberikan order ini-itu kepada kedua pembantunya, terkadang dengan setengah berteriak. "Si kecil dimandiin dulu, Tiii…", teriaknya kepada Siti (bukan nama sebenarnya), sang pembantu satu. "Abis itu jangan lupa siapkan baju sekolah dan sarapan untuk si besar…", lanjut si ibu kemudian. Belum juga selesai pekerjaan pertama si ibu sambil bermake-up di depan kaca berteriak kembali kepada Siti :"Jangan lupa si kecil diminumin vitamin sesudah disuapin
makan nanti…" Sementara kepada pembantu dua juga tak kalah serunya. "Nem, kalo nyuci jangan lupa disendirikan dulu, pakaian si kecil jangan dicampur dan musti didahulukan di mesin cucinya…!", teriak si ibu sambil sarapan pagi kepada si Inem (juga bukan nama sebenarnya) pembantu dua. "Nanti jangan lupa belanjanya juga musti banyak sayurnya, yaa…, daging terus tiap hari juga nggak baik..", tambah si ibu. Belum lagi hal-hal detail lain yang selalu saja si ibu sampaikan berulang-ulang setiap hari. "Ini setrika sepreinya kurang rapi..!", "Kok maemnya si kecil terlalu banyak kuahnya..", atau pernah juga terdengar teriakan si ibu, "Siti, kamu sekali-sekali juga harus bisa ngajari mengenalkan huruf angka buat si kecil…"
Begitulah si ibu dalam upaya memimpin kedua pembantunya, setiap hari berisi perintah `lakukan ini' – `lakukan itu', `jangan begini', `harus begitu'. Dan itu berlangsung terus menerus setiap hari, bahkan perintah yang sama bisa terdengar berulang-ulang disampaikan setiap
harinya. Tidak heran bahwa kemudian ibu ini termasuk yang sering berganti-ganti pembantu. Pembantu terlama yang paling betah melayaninya hanya berkisar satu setengah tahun. Sementara rekor tersingkat pernah terjadi seorang pembantu hanya bertahan selama sebulan kemudian keluar tidak kuat menjalaninya.
Si ibu ini bisa jadi telah mencoba mendefinisikan secara jelas misinya, terutama dalam peran sebagai seorang ibu bagi anak-anak nya, dan istri bagi suaminya. Bisa jadi secara gamblang telah berupaya menuliskan misinya, hasil akhir dari tujuan peran yang diembannya. Secara imajiner, mungkin saya bisa mencoba untuk memperkirakan bahwa misinya adalah bisa memberikan sesuatu yang terbaik sebagai ibu bagi anaknya dan sebagai istri bagi suaminya. Hanya saja, memiliki misi yang terdefinisi secara jelas tidak lah cukup. Sebuah misi yang berusaha menggambarkan secara jelas `hasil akhir' dari setiap peran kita, haruslah kemudian di-ejawantah- kan pada `day to day activity', yang membuat kita harus memilih mana yang harus saya kerjakan dahulu, mana yang harus saya dahulukan, mana yang penting berdasarkan misi saya, bisa memilah mana yang sepertinya penting tapi sebenarnya tidaklah begitu penting, mana yang harus segera diselesaikan karena kondisi genting tapi sebenarnya tidaklah begitu penting.
`Day to day activity' ini pun kita harus selalu selaraskan dengan nilai-nilai dan prinsip yang sesuai dengan paradigma kita sesuai dengan tingkat kepekaan kita memahami hukum alam. Bisa kita pilah mana-mana yang bisa kita kelompokkan sebagai lingkaran pengaruh kita –something that we can do about it- atau bukan. Bukan sekedar melakukan `day to day activity' yang bersifat ikut-ikutan, `karena kebanyakan orang begitu', didasari oleh rasa gengsi, ego yang berlebihan, sikap yang berusaha untuk mengedepankan status, dan sebagainya. Secara logika, diujung pengertiannya, dalam mengejawantahkan misi kita, haruslah diwujudkan kepada `day to day activity' yang berupaya untuk memprioritaskan yang penting harus dilakukan, dan semua itu harus dilakukan sesuai nilai-nilai yang diyakini, yang selalu dikonfirmasikan dengan prinsip sesuai pemahaman kita akan hukum alam.
Bisa kita coba kupas disini, pertama adalah si ibu ini mungkin belum berhasil dalam tahapan memilah mana-mana yang sebaiknya diprioritaskan sebagai hal yang penting. Ketika si ibu selalu meneriakkan berulang-ulang kata-kata pada porsi yang sama seperti : "Jangan lupa meminumkan vitamin pada si kecil", "Setrikaannya kurang rapi", "Si kecil jangan lama-lama mandiinnya", "Si besar makannya suruh di meja makan, jangan sambil jalan-jalan. ."Nge-pel lantainya jangan terlalu basah…". Seolah-olah memberikan pengertian bahwa si ibu ini menganggap semua hal di atas adalah sama pentingnya. Lebih buruknya lagi, bagi si pembantu, sang penerima delegasi, akan melihat semua hal tersebut sama pentingnya. Sehingga ketika seolah-olah semua hal menjadi penting, bisa jadi tidak akan ada lagi prioritas. Dan bagi si anak, yang setiap hari juga mendengar teriakan-teriakan si ibu pada pembantunya, akan melihat bahwa hal itu bisa mengkaburkan arti mana prioritas bagi yang penting, juga akan melihat apa yang dilakukan ibunya adalah sesuatu yang wajar. Si anak pun akan belajar bila menginginkan sesuatu tinggal teriak pada sang pembantu.
Yang kedua, sebenarnya kalau direnungi ada hal lagi yang penting yang harus menjadi prioritas atas apa yang dilakukan si ibu pada kedua pembantunya, yaitu upaya untuk memberdayakan kedua pembantu tersebut. Bisa jadi memang teriakan-teriakan yang dilakukan si ibu kepada kedua pembantunya adalah dalam upayanya untuk memberdayakan mereka. Inilah mengapa dalam kita mendahulukan yang prioritas harus juga selalu menyelaraskan dengan nilai-nilai yang kemudian selalu di- "challenge" dengan prinsip atas kepekaan kita terhadap hukum alam. Pengertian prinsip pada kasus ini, karena pada dasarnya pembantu rumah tangga adalah juga manusia, bukan robot. Manusia yang juga memiliki perasaan, emosi, kebutuhan atas pengakuan, mampu menjalani proses belajar dan pemberdayaan, membutuhkan rasa percaya diri dan sebagainya.
Sedang yang ketiga adalah mungkin seperti yang dikhawatirkan Stephen Covey, bahwa ekspektasi si ibu lebih kepada social mirror, sehingga pengertian tahapan prioritas menjadi `terganggu' karena hal ini. Si ibu mungkin melakukan itu semua dalam upaya akan status-nya tetap sebagai majikan, dan kata perintah adalah yang dilakukan oleh seorang majikan. Sehingga selalu beranggapan pembantu akan selalu dalam segala hal tidak lebih pintar dari majikannya. Tapi bagaimana pun juga situasi si ibu ini tidaklah mudah, terutama untuk melihat bahwa yang penting memanglah yang penting…
Sumber : Mengelola Prioritas Pada yang Penting oleh Pitoyo Amrih
Kiriman dari member :
Sulistyono
Jakarta
from acesia.tk
comment 0 komentar
more_vert